Menyiapkan Generasi Perakit Pesawat
Pesawat Jabiru 430 berkapasitas empat orang itu sudah setahun ini
terpakir di bengkel perakitan pesawat terbang Swayasa di SMKN 12
Bandung, Jawa Barat. Di bagian depan pesawat tertera tulisan "Jabiru
SMKN 12 Bandung". Pesawat itu dirakit sendiri oleh siswa dan guru SMKN
12 Bandung. Kehadiran pesawat itu jadi bukti bahwa sekolah penerbangan
yang berfokus pada keahlian industri manufaktur pesawat terbang ini
kelak mampu berkiprah di industri pesawat terbang.
Kesuksesan perakitan pesawat buatan Australia ini dikerjakan secara tim
oleh siswa dari program keahlian permesinan pesawat udara, konstruksi
badan pesawat udara, konstruksi rangka pesawat udara, kelistrikan
pesawat udara, elektronika pesawat udara, dan airframe & powerplant.
Program-program keahlian ini menyiapkan siswa untuk terjun dalam
industri manufaktur pesawat terbang.
Meskipun pesawat rakitan siswa SMKN 12 Bandung menimbulkan decak kagum
banyak pihak, tetap saja pihak sekolah merasa belum puas. Sebab, pesawat
yang sudah dirakit sesuai buku petunjuk dan secara teknis sudah
berfungsi baik harus dibuktikan layak terbang dulu. "Kami akan sangat
senang kalau tes terbang nanti membuktikan pesawat rakitan siswa bisa
terbang dengan baik," kata Tedi Rosadi, Ketua Tim Perakitan Pesawat
Jabiru 430 SMKN 12 Bandung.
Mimpi besar SMKN 12 Bandung yang belum berujung ialah menunggu kabar
pesawat Jabiru bisa tes terbang untuk mendapatkan sertifikat kelaikan
pesawat (certificate of airworthiness) dan sertifikat registrasi dari
Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara. Proses
pengajuan tak lama seusai pesawat rakitan selesai, yang diproses Sekolah
Pilot Alfa Flying Club di Jakarta. Kepala SMKN 12 Bandung Edy Purwanto
mengatakan, untuk izin pengadaan pesawat juga sekolah bekerja sama
dengan Alfa Flying School. ”Dulu siswa hanya belajar pesawat simulator.
Tetapi sekarang ada kesempatan untuk bisa terlibat merakit sejak awal,”
kata Edy.
Sempat diragukan
Awalnya keinginan merakit sendiri pesawat di SMK diragukan banyak pihak.
Nyatanya, ini justru jadi pemicu bagi sekolah penerbangan untuk bisa
menunjukkan kompetensinya. Tedi menjelaskan, pemilihan pesawat Jabiru
disesuaikan dengan perkembangan di dunia dari jenis logam aluminium ke
komposit. Pesawat ini bersayap tetap sehingga faktor keamanan jauh lebih
tinggi. "Kalau pas terbang ada masalah, pesawat masih bisa
melayang-layang," ujar Tedi.
Selain itu, jumlah pesawat Jabiru di Indonesia juga cukup banyak.
Federasi Aero Sport Seluruh Indonesia mencatat ada 13 unit. Hal ini
memudahkan pihak sekolah untuk belajar dalam perakitan pesawat sejenis.
"Dengan empat penumpang, kami mau memberi kesempatan untuk mengajak
siswa terbang. Ini supaya mereka mencintai kedirgantaraan," lanjutnya.
Menurut Tedi, siswa punya kesempatan belajar pesawat yang sesungguhnya.
Mereka bisa melihat pesawat yang dirakit berfungsi baik. "Tinggal
menunggu terbang saja," ujarnya.
Sebelum merakit pesawat di sekolah, guru dan siswa berlatih di PT
Dirgantara Indonesia (DI) Bandung. Lalu, proses perakitan dimulai di
sekolah. Tim siswa yang dibentuk sekolah serta guru didampingi pegawai
dari PT DI tiap kali perakitan. Tim perakit pesawat Jabiru dibagi dua
gelombang yang masing-masing melibatkan 10 siswa. Mereka bekerja seusai
jam belajar, pukul 16.00 - 20.00.
Meskipun pesawat Jabiru sudah terakit sempurna, sekolah tetap menyiapkan
generasi perakit berikutnya. Ada 11 siswa yang masuk ke tim ini.
Ignatius Slamet, Wakil Kepala SMKN 12 Bidang Hubungan Industri dan
Masyarakat, mengatakan, generasi perakit Jabiru yang baru tetap
disiapkan sekolah. Tujuannya untuk transfer ilmu. "Kami selalu siapkan
tim untuk mengantisipasi jika ada kebutuhan tenaga perakitan pesawat,"
ujar Ignatius.
Pemeliharaan pesawat
Oleh karena SMKN 12 Bandung sudah memiliki pesawat yang perlu perawatan,
mulai tahun ajaran 2012 dibuka jurusan pemeliharaan pesawat atau
maintenance. Keahlian ini diperlukan seiring dengan pertambahan jumlah
pesawat di Indonesia. Menurut Edy, dulu di Indonesia ada industri
manufaktur pesawat terbang sehingga membutuhkan tenaga madya setingkat
SMK. Namun, sekarang tidak menonjol lagi, lebih pada pembuatan
komponen-komponen saja.
Lulusan SMKN 12 bukan hanya diburu industri pesawat terbang dan
perusahaan penerbangan. Industri otomotif hingga perkeretaapian juga
melirik lulusan sekolah ini. Kalau ada pekerjaan yang overload di
industri penerbangan, ada juga yang dikerjakan di sekolah ini dengan
melibatkan siswa. Tentu saja tetap diawasi teknisi berlisensi.
Butuh lisensi
Bekerja di industri pesawat terbang atau perusahaan penerbangan butuh
lisensi. Tanpa lisensi, lulusan hanya berstatus sebagai helper teknisi
berlisensi. Untuk bisa mendapat lisensi, harus ada pengalaman kerja di
perusahaan sejenis dan usia minimal 19 tahun. Di Indonesia ada program
SMK +1 atau +2, tetapi implementasinya semacam diploma. Yang dibutuhkan
bukan ijazah diploma, melainkan lisensi, yakni kemampuan terhadap
kompetensi siswa. Edy berharap Direktorat Kelaikan Udara dan
Pengoperasian Pesawat Udara dapat membantu siswa SMK penerbangan agar
bisa mendapat lisensi. Ini untuk mengangkat martabat bangsa dengan
memiliki lulusan SMK penerbangan yang berlisensi sesuai kompetensinya.
Demi memperjuangkan dapat lisensi, sekolah bekerja sama dengan salah
satu lembaga aviasi di Malaysia. Dalam waktu dekat, 25 siswa akan
mengikuti program ini ke Malaysia. Biayanya Rp 40 juta - Rp 50 juta,
termasuk biaya hidup dan pelatihan. Sekolah menyambut baik tawaran
Malaysia ini. Siswa menamatkan tiga tahun di SMK, lalu belajar enam
bulan di Malaysia, sambil on the job training di Malaysia untuk dapat
sertifikat. Kalau diteruskan dalam satu tahun lagi dapat lisensi.
Menurut Edy, SMKN 12 Bandung memiliki kompetensi lengkap untuk mendukung
industri pesawat terbang dalam negeri, seperti cita-cita awal pendirian
sekolah ini. Jadi keahlian lengkap dari produksi sampai ke
pemeliharaan. Permintaan akan tenaga maintenance juga tinggi. Ini
disebabkan pesawat-pesawat harus dipelihara untuk menjamin keselamatan
penerbangan.